RSS

Ini adalah anggota pramuka SMP N 01 ADIPALA yang mengikuti lomba kemah di lapangan MANDALA GIRI Adipala,cilacap dalam rangka HUT RI yang ke-64. Alhamdullilah atas kerja sama TIM kami dapat meraih juara 02. Sedangkan anggota putri meraih juara 01. Kami sangat senang sekali dengan pramuka,karena pramuka sangat melatih kita untuk disiplin,rajin,berani dan sebagainya. Pramuka juga mengajarkan kita untuk selalu ber"JIWA KORSA".
          Pokoknya we love pramuka.hehehe.........di pramuka kita juga merasakan senang,sedih,susah,dan sebagainya.Namun kami tidak kan pernah menyerah,karena dengan pramuka insyaallah akan membantu kita nanti saat kita sudah tua dsb. Yang memakai topo hitam dan berpakaian rompi hitam itu adalah mas Budi. Beliau adalah ketua DKR adipala. Kami foto bareng di depan tenda kami ketika kami akan "SAYONARA".
         SPENSA ..............JAYA.............
         SPENSA...............JAYA............
         SPENSA................3X
         JAYA.....................3X

Itulah kata-kata yang sering kami ucapkan untuk kekompakan regu kami.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

info al'quran

Kamis, 17 September 2009

Makna Al Qur'an


Dengan menggabungkan antara arti bacaan dan himpunan atau kumpulan, dalam menelusuri makna kalimat Al-Qur'an, bisa dapatakan titik temu, bahwa ketika seorang membaca Al-Qur'an, ia telah mengumpulkan huruf-huruf kalimat dalam suatu rangkaian yang utuh, lalu melafalkannya dengan lisanya, dalam bentuk kalimat atau kata yang sempurna, sehingga enak didengarnya, nampak menjadi sebuah bangunan yang kuat saling mendukung, tak tergoyahkan. Dari membaca akan lahir pemahaman. Dari pemahaman akan lahir amal. Dengan demikian peranan nampak bahwa membaca merupakan urutan pertama dalam membangun ilmu pengetahuan, dan selanjutnya untuk membangun sebuah peradaban.


MAKNA AL-QUR'AN Apa arti kalimat Al-Qur'an? Apa asal katanya ? Adakah Al Qur'an sendiri telah menyebutkan dirinya dengan nama Al Qur'an ? Di dalam Al Qur'an pernyataan nama ini, bisa ditemukan di banyak tempat. Tapi bukan maksudnya di sini untuk mengkalkulasi semua ayat yang terdapat didalamnya kalimat Al-Qur'an. Cukuplah dengan menyebutkan beberapa contoh, sebagai bukti : Dalam (QS:7:204) : " Dan apabila dibacakan Al Qur'an maka dengarlah dan perhatikalah ". Dalam (QS:15:87) : " Dan sesungguhnya Kami telah berikan kapadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang, dan Al-Qur'an yang agung ". Dalam (QS:56:77) : " Sesungguhnya Al-Qur'an ini bacaan yang sangat mulya ". Dalam (QS:85:21) : " Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al-Qur'an yag mulya".

Bila kata Al Qur'an, merupakan masdar (infinitif) dari kata " qara'a " yang berarti membaca, maka artinya " bacaan ". Allah berfirman : ( innaa 'alainaa jam'ahu waqur'anah ), Qur'anah di sini berarti qira'atuhu yakni mebacanya. Dalam konteks ini, membaca bisa dimaksudkan untuk diri sendiri. Seperti yang terdapat dalam (QS:16:98) : " Maka apabila kamu membaca Al-Qur'an hendaknya kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syetan yang terkutuk ". Atau membaca untuk orang lain, seperti yang terdapat dalam (QS:17:106) : " Dan Al-Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu mebacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian ".

Dr. Shalah Al Khalidi, seorang ahli dalam ilmu-ilmu Al-Qur'an kontemporer, menyebutkan bahwa Al-Qur'an dengan makna bacaan, itu lebih kuat, berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan di atas. ( lihat Hadzal Qur'an, oleh Dr Shalah Al-Khalidi, Darul Manar, Oman, 1993, hal:19 ). Rahasia penamaan Al-Qur'an dengan arti bacaan, adalah karena membaca Al-Qur'an merupakan ibadah. Dari An Nu'man bin Basyir ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda : " Yang paling utama dari ibadah umatku adalah membaca Al-Qur'an ". (HR:Albaihaqi dalam kitab Syu'abul Iman). Hadits ini sekalipun dha'if, tapi dikuatkan oleh hadits sahih diriwayatkan Imam Muslim, dari Abu Umamah Al Bahili ra. Ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : bacalah Al-Qur'an, karena ia pada hari kiamat nanti akan datang untuk memberikan syafaat kepada para pembacanya ". ( Sahih Muslim, Daru Ihya'u trutats Al Arabi, Bairut, Jilid:I, hl:553, Hadits:804).

Bila kata Al-Qur'an berasal dari kata " qara'a " denga makna menghimpun atau mengumpulkan, ini juga terdapat dalam (QS:2:228) dengan kata " quru' ". Allah berfirman : " Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri ( menunggu ) tiga kali quru' ". Sekalipun para ulama fikih berbeda pendapat dalam maksud " quru " di sini, apakah, maksudnya " tiga kali haid " atau " tiga kali suci ", tapi mereka bersepakat bahwa menyebut kondisi haid atau kondisi suci dengan istilah quru', dimaksudkan agar wanita menyelesaikan iddahnya dengan mengumpulkan semua kondisi itu sampai selesai.

Dengan menggabungkan antara arti bacaan dan himpunan atau kumpulan, dalam menelusuri makna kalimat Al-Qur'an, bisa dapatakan titik temu, bahwa ketika seorang membaca Al-Qur'an, ia telah mengumpulkan huruf-huruf kalimat dalam suatu rangkaian yang utuh, lalu melafalkannya dengan lisanya, dalam bentuk kalimat atau kata yang sempurna, sehingga enak didengarnya, nampak menjadi sebuah bangunan yang kuat saling mendukung, tak tergoyahkan. Dari membaca akan lahir pemahaman. Dari pemahaman akan lahir amal. Dengan demikian peranan nampak bahwa membaca merupakan urutan pertama dalam membangun ilmu pengetahuan, dan selanjutnya untuk membangun sebuah peradaban. Allah SWT, Maha tahu akan hakikat ini. Karenanya yang pertama kali diturunkan adalah surat Al-Alaq, yang dimulai dengan kata " iqra' ", perintah untuk membaca. Rasulullah SAW, pada waktu itu memang tidak bisa mebaca dan menulis. Karenanya disebut Ummi.

Lalu kalau direnungkan secara mendalam ayat-ayat yang pertama kali diturunkan itu, akan ditemukan bahwa ada dua perintah iqra' : Pertama, " iqra' bismirabbikalladzi khalaq " bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan ). Kedua, iqra' warabbukal akram ( bacalah dan tuhanmulah yang paling Pemurah ). Maksudnya bahwa kegiatan membaca harus tegak di atas keikhlasan kepada Allah semata, kejujuran untuk membesarkanNya, menyebarkan ajaranNya, dan memberikan pemahaman yang benar terhadap manusia, sehingga dengannya manusia mendapatkan kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat.

Sumber :
Dr. Amir Faishol Fath
18 September 2009

Sumber Gambar:

Kisahku Khatam Al-Qur’an

Usia saya menjelang kepala 4. Jika merujuk ke pengalaman junjungan kita Nabi Muhammad SAW, maka kemungkinan “tinggal” 20 tahunan lagi saya beredar di dunia ini. Namun, dengan usia sematang itu, untuk menghitung berapa kali saya khatam Al-Qur’an seumur hidup saya ini, rasanya lima jari saya tidak habis. Duh…malunya. Semoga Allah SWT mengampuni saya dan memberi saya kesempatan memperbaiki diri…..
Semuanya berawal dengan “idealisme” saya, atau tepatnya…kesombongan saya bahwa saya ingin katham Qur’an sekaligus dengan terjemahannya. Keinginan yang menurut saya wajar karena saya tidak bisa berbahasa Arab. Berbagai saran langsung maupun via e-mail yang saya terima tentang bagaimana caranya khatam Al-Qur’an dalam satu tahun saya abaikan, karena umumnya hanya mengutamakan selesai membaca Qur’an tapi memahami artinya menjadi tujuan kedua.
Saya kemudian menciptakan strategi sendiri. Saya mulai dengan membiasakan membawa Al-Qur’an mini ke manapun saya pergi. Saya letakkan Al-Qur’an tersebut di handbag saya, dengan asumsi jika ia dekat dengan saya maka kapanpun saya mau (atau tepatnya … in the mood) saya bisa membacanya segera. Namun nyatanya strategi ini tidak dapat memuaskan keinginan saya untuk membaca dan memahami artinya sekaligus, karena dalam Al-Qur’an berukuran mini ini tentunya tidak memungkinkan memuat juga terjemahannya. Belum lagi karena ukurannya mini, maka otomatis aksara Arab yang tertulis juga berukuran mini. Akibatnya mata cepat lelah, ditambah alasan tidak masuk akal lainnya seperti sibuk, malas, dll, dst, maka membaca satu ‘ain saja sudah dapat saya anggap “achievement”.
Strategi lain adalah membuat acara rutin tadarus dengan suami saya saat kami tiba di rumah, menjelang tidur malam. Saat itu, sekaligus dalam rangka melatih kemampuan berbahasa Inggris, kami merujuk pada Al-Qur’an dengan terjemahan bahasa asing tersebut. Pikir saya, sambil menyelam minum air nih….Kami berdua bergantian membaca Al-Qur’an masing-masing sepanjang satu ‘ain lalu bergantian membaca terjemahan bahasa Inggrisnya….Strategi ini ternyata lebih parah, karena tidak membuat saya bertahan dengan keinginan khatam Al-Qur’an. Akhirnya kami berjalan dengan strategi masing-masing. Suami saya lanjut dengan caranya sendiri membaca Al-Qur’an selepas sholat tahajud yang dilakukannya menjelang adzan subuh. Ini juga kebiasaan yang seringkali membuat saya iri, karena di saat ia sholat dan mengaji, saya biasanya masih terlelap di peraduan. “Gak enak mau bangunin, kayaknya tidurnya pules banget, capek ya…” begitu biasanya jawaban suami saya, jika suatu waktu saya minta dibangunkan untuk bisa sholat tahajud berjamaah dengannya.
Pencarian strategi jitu ini akhirnya berakhir saat saya terima e-mail berbahasa Inggris dari seorang teman kantor yang isinya sbb:
Why do we read Quran, even we can't understand Arabic?
An old American Muslim lived on a farm in the mountains of eastern Kentucky with his young grandson. Each morning Grandpa was up early sitting at the kitchen table reading his Qur'an. His grandson wanted to be just like him and tried to imitate him in everyway he could. One day the grandson asked, "Grandpa, I try to read the Qur'an just like you but I don't understand it, and what I do understand I forget as soon as I close the book. What good does reading the Qur'an do?"
The Grandfather quietly turned from putting coal in the stove and replied, "Take this coal basket down to the river and bring me back a basket of water." The boy did as he was told, but all the water leaked out before he got back to the house. The grandfather laughed and said, "You'll have to move a little faster next time," and sent him back to the river with the basket to try again. This time the boy ran faster, but again the basket was empty before he returned home. Out of breath, he told his grandfather that it was impossible to carry water in a basket, and he went to get a bucket instead. The old man said, "I don't want a bucket of water; I want a basket of water. You're just not trying hard enough," and he went out the door to watch the boy try again. At this point, the boy knew it was impossible, but he wanted to show this grandfather that even if he ran as fast as he could, the water would leak out before he got back to the house. The boy again dipped the basket into river and ran hard, but when he reached his grandfather the basket was again empty. Out of breath, he said, "See Grandpa, it's useless!"
"So you think it is useless?" The old man said, "Look at the basket." The boy looked at the basket and for the first time realized that the basket was different. It had been transformed from a dirty old coal-basket and was now clean, inside and out. "Son, that's what happens when you read the Qur'an. You might not understand or remember everything, but when you read it, you will be changed, inside and out. That is the work of Allah (SWT) in our lives."

Jadi intinya, memahami isi Al-Qur’an memang memberi nilai plus bagi kita, namun membaca Al-Qur’an “saja” dapat membersihkan diri kita luar dan dalam seperti bersihnya keranjang arang yang diceritakan pada kisah di atas.
Akhirnya, saya berkesimpulan bahwa yang utama adalah niat yang kuat untuk membakar motivasi kita menuju khatam Al-Qur’an. Berbekal bahan bakar ini, saya menyiapkan 2 buah Al-Qur’an, satu saya letakkan di meja kamar dekat tempat tidur di rumah dan yang satu lagi saya letakkan di lemari kantor dekat komputer saya. Modal lain adalah ingatan karena saya selalu paksa diri saya mengingat surah ke berapa yang sudah saya baca di rumah, saat saya akan baca Al-Qur’an di kantor. Dan jangan lupa, pasang target: kapan saya harus khatam? Walaupun target waktu yang saya tetapkan sudah terlewati, namun dengan target kita tahu kita ingin mencapai apa.
Hari ini tanggal 3 September 2009 tepat 13 Ramadhan 1430 H selepas sholat subuh, saya berhasil menyelesaikan bacaan Al-Qur’an saya hingga surat Al-Ikhlas, surat terakhir. Saya khatam Al-Qur’an!!! Suami saya tak lupa memberi selamat dan doa. Sungguh, rasanya lebih hebat daripada saat saya ujian promosi S3 awal tahun 2008 lalu.
“Ya Allah, Ya Tuhanku! Rahmatilah aku dengan Al-Quran dan jadikanlah Al-Quran bagiku sebagai pemimpin, cahaya, petunjuk dan rahmat. Ya Allah, Ya Tuhanku! Ingatkanlah aku apa yang aku terlupa daripada ayat-ayat Al-Quran. Ajarkanlah aku daripada Al-Quran apa yang belum aku ketahui. Berikanlah aku kemampuan membacanya sepanjang malam dan siang; dan jadikanlah Al-Quran itu hujah bagiku (untuk menyelamatkan daku di akhirat), wahai Tuhan Sekalian Alam.”
Amin.
- 3 September 2009

Sumber :
Judhiastuty Februhartanty
18 September 2009

Memasyarakatkan Al-Quran Lewat Tarawih

Dalam karyanya Jawahir ul-Qur'an, Imam al-Ghazali menerangkan bahwa seluruh cabang ilmu yang terdahulu dan yang kemudian, yang diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari Al-Quran al-Karim.

Penjelasan al-Ghazali di atas menggambarkan akan betapa luas dan dalamnya kandungan Al-Quran. Oleh karena itu, Al-Quran tidak pernah habis untuk dikaji dan ditelaah setiap masa. Selalu saja ada hal-hal yang baru yang ditemukan oleh para ulama dari kandungan Al-Quran.

Kita juga banyak mendengar penemuan-penemuan ilmiah terbaru yang dihasilkan oleh para ilmuan kontemporer, yang dianggap penemuan paling mutakhir. Namun, setelah kita perhatikan, ternyata hal itu sudah ada dan dibahas di dalam Al-Quran terlebih dahulu. Di antaranya adalah penemuan tentang strategi perang di waktu pagi, yang ditemukan oleh para pakar di akademi militer. Ternyata sudah dibahas di dalam Al-Quran pada surat Al-Aadiyaat.

Dari pemahaman kita akan pentingnya mengkaji Al-Quran, seharusnya kita berusaha untuk senantiasa dekat dan 'bersentuhan' dengannya. Karena bagaimana kita akan cinta dan mengerti kandungannya, jika membacanya saja kita jarang. Apalagi mau menghafal dan mengkajinya. Sebegini burukkah kondisi umat Islam kontemporer?

Modernitas zaman banyak membawa dampak buruk bagi jauhnya umat Islam dari Al-Quran. Padahal sewaktu penulis masih kecil, sebelum perkembangan informasi dan teknologi begitu pesat seperti sekarang ini, paling tidak setiap sehabis shalat magrib berjamaah di masjid, penulis selalu mendengar lantunan ayat-ayat suci Al-Quran dari setiap rumah yang penulis lewati.

Berbeda dengan masa kini. Fenomena di atas jarang sekali penulis temukan. Banyak dari anak-anak umat Islam kontemporer justru lebih mengenal Playstation ketimbang Al-Quran! Menonton sinetron lebih digandrungi remaja-remaja muslim, ketimbang hadir di pengajian! Kebiasaan menggerak-gerakan tasbih (berdzikir) berubah menjadi kebiasaan mengutak-atik handphone!

Mau tidak mau, kita harus akui fenomena-fenomena memprihatinkan di atas telah terjadi dan menjamur di kalangan umat Islam Indonesia, dan bahkan mungkin di beberapa negara yang berpenduduk muslim yang lainnya. Lalu bagaimana solusinya?

Memasyarakatkan Al-Quran
Solusinya adalah dengan melakukan upaya menciptakan iklim qur'ani atau memasyarakatkan Al-Quran.

Di antara cara-cara memasyarakatkan Al-Quran, khususnya di bulan Ramadhan, adalah dengan membiasakan umat Islam untuk shalat Tarawih dengan bacaan satu juz atau lebih setiap malamnya. Sehingga dalam satu bulan Ramadhan dapat selesai 30 Juz Al-Quran. Dengan begitu, umat Islam secara komprehensif akan terbiasa mendengarkan Al-Quran dari awal sampai akhir.

Penulis harus mengakui bahwa upaya tersebut pasti sulit dan akan menemukan banyak rintangan nantinya. Namun memang untuk menggapai sebuah keberhasilan, pasti akan selalu saja ada alang-rintangnya. Oleh karena itu, upaya tersebut harus dimulai pelan-pelan dan berangsur-angsur oleh segenap komponen umat Islam di Indonesia. Sebab, upaya ini tidak bisa dilakukan secara individual, tapi harus dilakukan secara kolektif.

Fenomena yang berkembang di banyak kalangan umat Islam Indonesia adalah menjadikan shalat Tarawih sebatas kebiasaan (ritual) di bulan Ramadhan saja. Kebiasaan mencari-cari shalat Tarawih yang cepat selesainya, masih berkembang di beberapa kalangan umat Islam Indonesia. Bacaan Al-Quran saat Tarawih di kampung-kampung di Indonesia biasanya hanya berkisar dari surat at-Takatsur sampai an-Naas. Bahkan jika ada imam shalat Tarawih yang bacaannya agak lama, tidak jarang dimusuhi dan ditinggalkan jamaahnya.

Memang sungguh memprihatinkan. Maka tak heran jika shalat Tarawih yang dilakukan umat Islam di Indonesia, tidak banyak memberikan perubahan riil bagi perbaikan kondisi sosialnya. Padahal Allah swt telah berfirman dalam Al-Quran: "Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar." (QS. Al-Ankabuut [29]: 45). Padahal seharusnya Ramadhan menjadi 'madrasah' untuk menggembleng akhlak dan pribadi umat Islam yang menjalankan puasa di siang hari dan Tarawih di malam harinya.

Umat Islam Indonesia harus belajar dari umat Islam di Suriah --dan mungkin beberapa negara berpenduduk muslim yang lainnya. Di Damaskus (Ibukota Suriah), rata-rata di setiap masjidnya dilaksanakan shalat Tarawih satu juz atau lebih setiap malam. Jadi selama sebulan dapat selesai 30 Juz Al-Quran. Jarang sekali kita temukan yang tidak menggunakan sistem seperti ini. Bahkan di beberapa masjid, bisa diselesaikan pembacaan Al-Quran dalam beberapa kali.

Sebagai contoh di masjid ar-Rifai, sebuah masjid di dekat pusat kota Damaskus. Di masjid tersebut bisa ditamatkan pembacaan Al-Quran sampai empat kali dalam satu bulan Ramadhan. Pertama, satu juz atau lebih setiap malam, saat shalat Tarawih berjamaah. Kedua, satu juz atau lebih setiap malam, saat shalat tahajud berjamaah. Ketiga, satu juz atau lebih setiap pagi, saat shalat shubuh berjamaah. Keempat, satu juz atau lebih setiap pagi, saat acara tadarusan seusai shalat shubuh berjamaah.

Dengan demikian, masyarakat muslim di Damaskus telah terbiasa selalu mendengarkan ayat-ayat suci Al-Quran dari awal sampai akhir. Jika sudah terbiasa, insya Allah akan timbul nantinya keinginan untuk menghafal dan kemudian mengkajinya ayat demi ayat.

Umat Islam Indonesia harus mulai sadar akan pentingnya memasyarakatkan Al-Quran. Problematika komplikatif yang dihadapi umat Islam Indonesia saat ini, disebabkan oleh penyakit-penyakit sosial yang masih hinggap pada diri kebanyakan dari mereka. Al-Quran adalah obat bagi berbagai macam penyakit, termasuk berbagai penyakit sosial.

Dalam Al-Quran Allah swt menjelaskan: "Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran (yang terkandung dalam Al-Quran) dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (penyakit sosial), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman" (QS. Yunus [10]: 57).

Tidakkah umat Islam Indonesia ingin sembuh dari berbagai penyakit sosial yang dideritanya?! Wallahu a'lam b ish-Shawab.
- 7 September 2009

Sumber :
A. Slamet Ibnu Syam
18 September 2009
Penulis adalah Ketua Dewan Konsultan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Damaskus-Suriah

Urgensi Mengajarkan Al Qur'an

Bukhari meriwayatkan dalam kitab sahihnya dari Utsman r.a. bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: “Sepaling baik kalian adalah orang yang mempelajari Al Quran dan mengajarkannya”.
Al Quran adalah objek yang paling utama untuk dipelajari dan diajarkan. Zarkasyi berkata dalam kitabnya “Al Burhan”: “Para ulama sahabat kamimengatakan: mengajarkan Al Quran adalah fardhu kifayah, demikian juga menghapalnya, adalah wajib bagi umat Islam.
Makna kewajiban itu –seperti dikatakan oleh Al Juwaini— adalah agar jumlah mata rantai berita mutawatir tidak terputus, dan tidak terjadipenggantian dan perubahan terhadap Al Quran. Jika sebagian orang mengerjakan kewajiban itu, maka kewajiban itu terbebas bagi yang lainnya. Jika tidak, maka semua umat Islam mendapatkan dosa. Jika dalam suatu negeri atau kampung tidak ada yang membaca Al Quran, maka semua penduduk negeri itu mendapatkan dosa. Jika adasekelompok orang yang dapat mengajarkan Al Quran, kemudian ia diminta untuk mengajar, namun ia menolak, ia tidak berdosa menurut pendapat yang paling sahih.
Seperti dikatakan oleh An Nawawi dalam kitab At Tibyan. Bentuk masalah ini adalah: jika sesuatu maslahat tidak hilang dengan penundaan itu maka ia dapat menolak. Sementara jika hilang, maka ia tidak boleh menolak permintaan itu.
Namun, apa yang yang dimaksud dengan mempelajari dan mengajarkan Al Quran? Yang dimaksud adalah: menghapal kata-kata dan huruf-huruf Al Quran dalam hati. Ini adalah tugas yang dilakukan oleh katatib (pondok-pondok penghapal Al Quran) pada masa lalu, dan sebagiannya masih ada hingga saat ini, sementara saat ini tugas itu dilakukan oleh sekolah tahfizh Al Quran. Itu dapat masuk dalam pengertian belajar dan mengajarkan Al Quran. Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa inilah yang dimaksud itu, bukan lainnya.
Barangkali inilah rahasia mengapa orang amat memberikan perhatian terhadap penghapalan Al Quran, memuliakan para penghapalnya, dan menyiapkan hadiah serta pemberian uang yang banyak bagi para penghapal Al Quran. Sehingga ada sebagian penghapal Al Quran yang mendapatkan hadiah dalam musabaqah yang diselenggarakan di Qathar sebesar lima puluh ribu rial, di tambah mobil yang lebih mahal dari jumlah itu. dan pada tahun kedua ia mendapatkan hadiah yang hampir sama dengan itu!
Kecenderungan seperti inilah yang mendorong kami untuk mengkritik dalam buku-ku “Fi Fiqh al Awlawiyaat”, yaitu ketika saat ini tindakan menghapal Al Quran lebih dilihat penting dibandingkan dengan usaha untuk memahaminya. Para penghapal lebih dihormati dan lebih diperhatikan dibandingkan para faqih (ahli agama).
Al Quran mendefinisikan tugas Nabi Saw adalah: “mengajarkan Al Quran dan Hikmah”, dalam empat ayat Al Quran40. Dan tentunya yang dimaksudkan dengan “mengajarkan” ini bukan “mengajarkan menghapal”, dengan dalil perintah itu diiringi dengan tugas membacakan ayat-ayat Al Quran kepada mereka:
“Yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah.” (Ali Imran: 164). Maka mengajar lebih khusus dari membaca.Belajar dan mengajar inilah yang diungkapkan oleh sebagian hadits sebagai “tadaarus”.
Dalam sahih Muslim dari Abi Hurairah r.a. bahwa Nabi Saw bersabda: “Setiap sekelompok orang berkumpul di suatu rumah Allah, membaca kitab Allah, dan mentadaruskan Al Quran di antara mereka, maka ketenangan akan diturunkan kepada mereka, dan mereka akan dipenuhi oleh rahmat Allah, dikelilingi para Malaikat, dan Allah SWT akan mengingat dan menyebut mereka yang hadir di majlis itu”.
Makna tadarus Al Quran adalah: berusaha untuk mengetahui lafazh-lafazh dan redaksinya, pemahaman dan maknanya, serta ibrah yang dikandungnya, serta hukum hukum dan etika yang diajarkannya.
“At Tadarus” adalah wazan tafa`ul dari ad dars, maknanya adalah: salah satu pihak atau beberapa pihak mengajukan pertanyaan, dan pihak lainnya menjawab pertanyaan itu, pihak ketiga mengkaji lebih lanjut, dan pihak selanjunya berusaha mengoreksi atau melengkapinya. Inilah yang dimaksud dengan tadarus.
Tadarus inilah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw bersama utusan wahyu Jibril a.s. pada bulan Ramadhan setiap tahun. Seperti diriwayatkan oleh Ibnu Abbas s.a., saat Jibril turun kepada Rasulullah SAW, dan mentadaruskan Al Quran bersama beliau.
Mudarasah (pengkajian) Al Quran yang paling baik adalah yang dilakukan oleh dua pihak utusan Allah SWT yang mulia: utusan Allah SWT dari langit, dan utusan Allah SWT di bumi!.
Dalam mempelajari Al Quran tidak cukup hanya dengan menghapal baris barisnya, dan mengingat ayat-ayatnya, kemudian tidak memahami maknanya, meskipun tetap mendapatkan pahala dengan sekadar mengingat dan menghapalnya, sesuai dengan niatnya. Namun seharusnya ia berusaha untuk memahami –semampunya— apa yang diinginkan oleh Allah SWT darinya, sesuai kadar kemampuan daya tangkapnya: “Maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya.” (Ar Raad: 17).
Ini ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh `Uqbah bin Amir r.a., ia berkata: Rasulullah SAW keluar kepada kami saat kami berada di ash shuffah, dan bersabda: “Siapa yang mau pergi pada pagi hari setiap hari ke daerah Buthhan –Atau ke Aqiq— kemudian mengambil dua unta yang gemuk dari sana, tanpa melakukan dosa atau membuat putus hubungan silaturahmi”? Kami menjawab: Wahai Rasulullah Saw, kami semua mau melakukan itu. Beliau bersabda: “Bukankah jika salah seorang kalian pergi ke mesjid pada pagi hari dan mempelajari –atau membaca— dua ayat dari Kitab Allah SWT lebih baik baginya dua unta, dan tiga ayat lebih baik dari tiga unta, empat ayat lebih baik dari empat unta, dan dari bilangan ayat-ayat itu lebih baik dari sejumlah unta dengan bilangan yang sama?!”. Bath-han adalah tempat dekat Madinah. Aqiq adalah lembah Madinah. Sementara Al Kauma adalah unta besar yang gemuk.
Aku kira mempelajari dua tiga atau empat ayat di sini: tidak berarti menghapalkan huruf-hurufnya saja, namun yang dimaksud adalah mempelajari kandungan ilmu dan amalnya sekaligus. Oleh karena itu hadits itu mengurangi bilangannya, sehingga dapat dipahamai dan amalkan dengan lebih mudah.
Inilah cara para sahabat r.a. dalam mempelajari Al Quran. Seperti telah kami jelaskan sebelumnya. Dan dengan cara seperti ini, ayat yang dipelajari oleh seorang Muslim akan menjadi cahaya dan bukti baginya pada hari kiamat. Seperti diriwayatkan oleh Abu Umambahwa Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang mempelajari satu ayat dari Kitab Allah, niscaya ayat itu akan menyambutnya pada hari Kiamat sambil tertawa di hadapannya”.
- 5 Agustus 2009

Sumber :
18 September 2009

Membumikan Al Qur'an : Membutuhkan Negara

[Al-Islam 472] Bulan Ramadhan sering disebut sebagai bulan al-Quran (syahr al-Qru’ân), setidaknya karena dua hal. Pertama: pada bulan Ramadhanlah Allah menurunkan al-Quran, sebagaimana firman-Nya:
]شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ[
Bulan Ramadlan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia, penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dan yang batil (QS al-Baqarah [2]: 185).
Allah SWT juga berfirman:
]إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ[
Sesungguhnya Kami menurunkan al-Quran pada suatu malam yang diberkahi (QS ad-Dukhan [44]: 3).
]إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ[
Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran pada Malam Kemuliaan(QS al-Qadr [97]: 1).
Karena itu, pada bulan Ramadhan ini—biasanya tanggal 17 Ramadhan—sebagian Muslim menyelenggarakan Peringatan Nuzulul Quran.
Kedua: pada bulan ini pula biasanya kaum Muslim lebih banyak dan lebih sering membaca dan mengkaji al-Quran dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain. Dalam tradisi kaum Muslim di Tanah Air, selama Ramadhan ada aktivitas rutin yang dikenal dengan istilah tadarus, yakni aktivitas membaca al-Quran, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan saling menyimak.
Tentu baik menyelenggarakan Peringatan Nuzulul Quran. Dengan itu, setiap Muslim, paling tidak setiap setahun sekali, diingatkan tentang peristiwa turunnya kitab suci mereka, yakni al-Quran. Tentu baik pula, bahkan akan memperoleh balasan berlipat ganda, membiasakan tadarus selama bulan Ramadhan. Sebab, di luar Ramadhan saja, Baginda Rasulullah saw. telah menjanjikan pahala dari Allah berupa sepuluh kebaikan bagi setiap huruf al-Quran yang kita baca (HR at-Tirmidzi). Pahala membaca al-Quran tentu akan makin berlipat ganda jika dilakukan selama Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi saw. (HR Ibn Khuzaimah).
Namun demikian, sejatinya kaum Muslim tidak lantas berhenti di sini, apalagi merasa puas hanya dengan Peringatan Nuzulul Quran dan kegiatan membaca al-Quran. Kaum Muslim hendaknya tidak hanya memperlakukan al-Quran sebagai kitab bacaan. Sebab, dalam ayat pertama yang dikutip di atas, jelas bahwa al-Quran Allah turunkan agar berfungsi sebagai hud[an] (petunjuk), bayyinât (penjelasan) dan furq[an] (pembeda; yang haq dengan yang batil) (QS al-Baqarah [2]: 125). Dalam ayat lain al-Quran juga menegaskan dirinya sebagai penjelas segala sesuatu (tibyân[an] li kulli syay’[in]), petunjuk (hud[an]) dan rahmat (rahmat[an]) bagi manusia (QS an-Nahl [16]: 89). Al-Quran bahkan merupakan obat penawar bagi kaum Mukmin (QS al-Isra’ [17]: 82)
Pertanyaannya, sudahkah kaum Muslim saat ini mendudukkan al-Quran sesuai dengan seluruh fungsinya di atas? Ataukah al-Quran saat ini baru dijadikan sebagai kitab bacaan semata?

Jangan Mengabaikan al-Quran

Allah SWT berfirman:
]وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا [t
Berkatalah Rasul, “Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan al-Quran ini sebagai sesuatu yang diabaikan.” (QS al-Furqan [25]: 30).
Ayat di atas menceritakan bahwa Rasulullah saw. mengadukan kepada Allah SWT perilaku umatnya yang menjadikan al-Quran sebagai mahjûr[an]. Kata mahjûr[an]merupakan bentuk maf‘ûl. Ia bisa berasal dari kata al-hujr, yakni kata-kata keji dan kotor. Dengan demikian, maksud ayat ini, mereka mengucapkan kata-kata batil dan keji terhadap al-Quran, seperti tuduhan al-Quran adalah sihir, syair atau dongengan orang-orang terdahulu (QS al-Anfal [8]: 31). (Ash-Shabuni, I/260). Kata mahjûr[an] juga bisa berasal dari kata al-hajr, yakni at-tark (meninggalkan, mengabaikan). Jadi, mahjûr[an] juga bisa bermakna matrûk[an] (yang ditinggalkan, diabaikan) (Al-Qanuji, IX/305).
Banyak sikap dan perilaku yang oleh para mufassir dikategori hajr al-Qur’ân(meninggalkan atau mengabaikan al-Quran). Di antaranya adalah menolak untuk mengimani dan membenarkannya; tidak men-tadabbur-i dan memahaminya; tidak mengamalkan dan mematuhi perintah dan larangannya; berpaling darinya menuju yang lain baik berupa syair, ucapan, nyanyian, permainan, ucapan atau tharîqah yang diambil dari selainnya; tidak mau menyimak dan mendengarkan al-Quran (Ibn Katsir, I/1335).
Tidak mau berhukum dengan al-Quran, baik dalam perkara ushûl ad-dîn maupun furû’-nya, menurut Ibnu al-Qayyim, juga terkategori meninggalkan atau mengabaikan al-Quran (Wahbah Zuhaili, IXX/61).
Semua tindakan tersebut haram (dosa) karena dikaitkan dengan ayat berikutnya:
]وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا[
Seperti itulah Kami mengadakan bagi tiap-tiap nabi musuh dari para pendosa (QS al-Furqan [25]: 31).
Dalam ayat ini, jelas orang-orang yang meninggalkan dan mengabaikan al-Quran disejajarkan dengan musuh para nabi dari kalangan para pendosa.

Bentuk-bentuk Pengabaian al-Quran

Jika kita cermati, gejala pengabaian al-Quran banyak dilakukan kaum Muslim—baik secara sadar ataupun tidak—dari berbagai level. Pertama: pada level masyarakat Muslim kebanyakan (awam), baik di kalangan bawah maupun kalangan menengah, kita sudah lama menyaksikan bagaimana al-Quran sekadar disimpan di rak-rak buku tanpa pernah dibaca, apalagi dikaji isinya dan diamalkan dalam realitas kehidupan. Kalaupun dibaca, biasanya sekadar pada bulan Ramadhan, seperti saat ini. Karena jarang dibaca, otomatis al-Quran pun jarang dikaji. Karena jarang dikaji, otomatis pula al-Quran jarang diamalkan. Masyarakat lebih tertarik dan bersemangat untuk membaca koran atau rajin menonton TV, misalnya, ketimbang membaca al-Quran. Wajar jika kemudian mereka, misalnya, lebih gandrung dengan apa yang dipropagandakan oleh koran atau TV—yang notabene lebih banyak mengusung gagasan-gagasan atau pesan-pesan yang bersumber dari akidah Sekularisme—ketimbang gagasan-gagasan dan pesan-pesan yang berasal dari al-Quran. Dalam tataran pemikiran, hal ini dapat dibuktikan dengan penerimaan sebagian besar masyarakat yang lebih gandrung dengan demokrasi, HAM, kebebasan, emansipasi dll ketimbang gagasan-gagasan dan pesan-pesan Islam seperti penerapan syariah Islam secara kâffah (total). Dalam tataran kehidupan praktis, hal ini dapat diindikasikan dengan gandrungnya sebagian besar masyarakat terhadap gaya hidup Barat yang cenderung bebas dan liar. Kaum wanita Muslim, misalnya, banyak yang lebih suka berpakaian ala Barat yang mempertontonkan sebagian (bahkan sebagian besar) auratnya ketimbang menutup auratnya dengan jilbab dan kerudung. Para remaja banyak yang lebih suka bergaul bebas ketimbang terikat dengan aturan-aturan syariah.
Kedua: pada level kaum intelektual Muslim, kita juga menyaksikan bagaimana al-Quran diperlakukan secara ‘semena-mena’; sesekali dikritisi, bahkan tak jarang digugat—meskipun tentu tidak secara terang-terangan alias dibungkus dengan berbagai istilah dan jargon, seperti ‘reaktualisasi’ ataupun ‘reinterpretasi’ al-Quran. Munculnya sikap ‘kritis’ terhadap al-Quran tidak lain karena didasarkan pada praanggapan bahwa al-Quran—meskipun dipandang suci—hakikatnya adalah kumpulan teks, yang sama dengan teks-teks lain. Bahkan Nashr Hamid Abu Zayd, misalnya, dalam Mafhûm an-Nash; Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur’ân, secara tegas menyatakan bahwa al-Quran bukanlah kalamullah, ia hanyalah produk budaya (muntâj ats-tsaqâfi); hasil persepsi Muhammad saw. terhadap kalam Allah yang sebenarnya.
Ketiga: pada level negara/penguasa, upaya mengabaikan al-Quran sesungguhnya lebih kentara lagi. Bagaimana tidak? Selama ini, al-Quran nyaris tidak dilirik, bahkan cenderung dicampakkan. Enggannya penguasa untuk menerapkan hukum-hukum Allah SWT yang bersumber dari al-Quran dan malah lebih rela melakukan legislasi hukum-hukum sekular buatan manusia adalah bukti nyata dari tindakan mereka melakukan pengabaian al-Quran. Allah SWT telah mengecam sikap demikian:
]أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا[
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah mengimani apa saja yang telah diturunkan kepadamu dan pada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhukum pada thâghût, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkarinya. Setan bermaksud menyesatkan mereka sejauh-jauhnya (QS an-Nisa’ [4]: 60).
Yang lebih tragis, pejuang syariah Islam diperlakukan oleh penguasa—secara langsung ataupun karena tekanan Barat (baca: AS) sebagai teroris, atau paling tidak, sebagai ancaman; seolah-olah memperjuangkan tegaknya syariah Islam lebih jahat daripada tindakan kriminal seperti korupsi, misalnya. Sikap ini—ditegaskan oleh al-Quran—adalah sikap orang-orang munafik:
]وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودً ا[
Jika dikatakan kepada mereka, "Marilah kalian (tunduk) pada hukum yang telah Allah turunkan dan pada hukum Rasul," niscaya kalian melihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kalian (QS an-Nisa’ [4]: 61).

Membumikan al-Quran, Membutuhkan Negara

Wacana tentang pentingnya membumikan al-Quran sudah sering dilontarkan oleh para ulama, intelektual dan aktivis Muslim. Namun, hingga kini wacana itu masih tetap berupa wacana, tidak mewujud menjadi realita. Al-Quran masih dijadikan sekadar kitab bacaan, tidak dijadikan pedoman, apalagi dijadikan sebagai sumber hukum dan perundang-undangan. Padahal al-Quran berisi sistem kehidupan yang harus diterapkan. Di dalamnya terdapat hukum yang mengatur seluruh segi dan dimensi kehidupan (QS an-Nahl [16]: 89).
Harus disadari, sebagian hukum itu hanya bisa dilakukan oleh negara, semisal hukum-hukum yang berkaitan dengan pemerintahan dan kekuasaan, plitik, ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik luar negeri; termasuk pula hukum-hukum yang mengatur pemberian sanksi terhadap pelaku pelanggaran hukum syariah (‘uqûbât). Hukum-hukum seperti itu tidak boleh dan tidak mungkin diterapkan oleh individu. Semua itu hanya mungkin dan sah dilakukan oleh negara (penguasa). Dalam Islam, negara semacam ini adalah Khilafah, dan penguasanya disebut khalifah.
Berdasarkan fakta ini, keberadaan negara (Khilafah) adalah dharûrî (sangat penting). Tanpa Khilafah, mustahil kita bisa membumikan al-Quran. Tanpa Khilafah, banyak sekali ayat al-Quran yang dicampakkan. Padahal menelantarkan al-Quran—walaupun sebagian—termasuk tindakan haram (dosa). Karena itu, berdirinya Khilafah—tentu Khilafah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah) harus disegerakan agar tidak ada satu ayat al-Quran pun yang diabaikan. Inilah seharusnya yang dijadikan pesan penting dalam Peringatan Nuzul Quran seperti saat ini.
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. []

Sumber :
18 September 2009

Informasi Mengenai Peristiwa Masa Depan dalam Al Qur'an

Sisi keajaiban lain dari Al Qur'an adalah ia memberitakan terlebih dahulu sejumlah peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang. Ayat ke-27 dari surat Al Fath, misalnya, memberi kabar gembira kepada orang-orang yang beriman bahwa mereka akan menaklukkan Mekah, yang saat itu dikuasai kaum penyembah berhala:
"Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rosul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui, dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat." (Al Qur'an, 48:27)
Ketika kita lihat lebih dekat lagi, ayat tersebut terlihat mengumumkan adanya kemenangan lain yang akan terjadi sebelum kemenangan Mekah. Sesungguhnya, sebagaimana dikemukakan dalam ayat tersebut, kaum mukmin terlebih dahulu menaklukkan Benteng Khaibar, yang berada di bawah kendali Yahudi, dan kemudian memasuki Mekah.
Pemberitaan tentang peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di masa depan hanyalah salah satu di antara sekian hikmah yang terkandung dalam Al Qur'an. Ini juga merupakan bukti akan kenyataan bahwa Al Qur'an adalah kalam Allah, Yang pengetahuan-Nya tak terbatas. Kekalahan Bizantium merupakan salah satu berita tentang peristiwa masa depan, yang juga disertai informasi lain yang tak mungkin dapat diketahui oleh masyarakat di zaman itu. Yang paling menarik tentang peristiwa bersejarah ini, yang akan diulas lebih dalam dalam halaman-halaman berikutnya, adalah bahwa pasukan Romawi dikalahkan di wilayah terendah di muka bumi. Ini menarik sebab "titik terendah" disebut secara khusus dalam ayat yang memuat kisah ini. Dengan teknologi yang ada pada masa itu, sungguh mustahil untuk dapat melakukan pengukuran serta penentuan titik terendah pada permukaan bumi. Ini adalah berita dari Allah yang diturunkan untuk umat manusia, Dialah Yang Maha Mengetahui.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

 
 
Rabu, 06 Mei 2009 , 06:49:00

Foto: Daryanto/Radar Banyumas/JPNN
CILACAP - Evakuasi tongkang SM 300 yang terdampar di Pantai Bunton, Adipala, Cilacap, makin sulit. Setelah kapal penarik (tug boat) terguling dihantam ombak, tantangan lain muncul kemarin. Sebanyak 8.000 ton batu bara muatan tongkang SM 300 terbakar.

Terbakarnya batu bara tersebut mulai terlihat kemarin setelah muncul asap dari kapal itu. Namun, informasi lain menyebutkan bahwa batu bara itu terbakar sejak beberapa hari lalu. ''Hanya, asapnya baru kelihatan sekarang,'' ujar Sarjono, warga Bunton, yang berusia 41 tahun.

Dia menjelaskan, munculnya kepulan asap dari kapal tersebut sempat membuat kaget warga. Apalagi ditambah bau menyengat yang tercium hingga ke tengah desa. ''Kencangnya angin laut membawa bau batu bara yang terbakar itu ke permukiman,'' tambahnya.

Mengetahui asal bau tersebut dari kapal yang terdampar, warga beramai-ramai menonton. Mereka bergerombol di pinggir pantai.

Dengan begitu, ada dua tontotan yang tidak biasa ''dinikmati'' warga Bunton. Yaitu, terbaliknya kapal penarik dan terbakarnya muatan kapal yang terdampar itu. ''Sudah beberapa hari ini banyak warga yang datang untuk melihat tug boat yang terbalik dan batu bara yang terbakar di atas kapal,'' ujar Sarjono.

Agen kapal dari PT Escorindo Budi Ristianto mengatakan, diduga batu bara tebakar karena terkena panas. Untuk mengatasi, rencananya disiram dengan air tawar. Upaya lainnya ialah membongkar batu bara dari atas kapal. ''Ada beberapa opsi yang akan kami lakukan. Yaitu, memadamkan api dengan cara disiram, membongkar, dan dreedging atau pengerukan, bebernya.

Yang menjadi kegalauan adalah bagaimana mengevakuasi dua kapal yang terdampar tersebut. Untuk menarik kapal tersebut makin sulit karena lambung kapal sudah tertanam di pasir dasar laut. ''Kalaupun bias, dengan dredging. Yakni, mengeruk pasir, kemudian dibuatkan jalan menuju ke perairan yang lebih dalam. Dan, syaratnya, muatan harus dikurangi atau bahkan dibongkar semua,'' katanya.

Kapal itu terdampar di lepas Pantai Bunton sejak 22 April lalu. Berbagai upaya sudah dilakukan, namun belum juga berhasil. Bahkan, kapal penarik yang diharapkan bisa mengeluarkan kapal tersebut dari jebakan pasir malah terbalik setelah dihantam ombak besar.(yan/jpnn/ruk)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pembangunan PLTU Bunton Diduga Bakal Rampas Ekonomi Nelayan

Senin, 24 Mei 2010 | 00:56 WIB
Pembangunan PLTU Bunton Diduga Bakal Rampas Ekonomi NelayanLokasi PLTU Cilacap di desa Bunton (foto: berita-cilacap)
Cilacap - Kehadiran PLTU I di Desa Karangkandri, Kecamatan Kesugihan, yang ada sekarang ini telah merampas ekonomi 23.000 nelayan setempat. Sehingga, delapan kelompok nelayan Cilacap secara tegas menolak rencana pembangunan PLTU Cilacap II di Desa Bunton, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah.
"Sebagai contoh, PLTU I Karangkandri telah menyebabkan kerusakan lingkungan laut serta dirampasnya wilayah tangkapan ikan oleh kapal tongkang pengangkut batu bara. Itu menjadi alasan kita untuk menolak keberadaan PLTU II di Bunton ini," kata Ketua Kelompok nelayan Pelabuhan Perikanan Samudra Cilacap (PPSC), Srigito, hari Minggu 23 Mei 2010.
Srigito mengatakan, sudah ada delapan kelompok nelayan di Cilacap yang menyatakan sikap penolakan rencana pembangunan PLTU Bunton. "Kita sudah berkomunikasi dan melakukan pertemuan dengan tujuh kelompok nelayan lainnya membahas masalah ini," katanya.
Menurut dia, keberadaan PLTU Karangkandri itu saja sudah sangat merugikan nelayan. Dampak buruk terhadap lingkungan operasional PLTU telah merampas penghasilan nelayan. Alasannya, pertama, perairan Cilacap sudah tidak ada ikannya lagi sebab air panas limbah operasional PLTU dibuang ke laut. Akibatnya adalah ikan-ikan lari menjauhi lokasi sekitar PLTU. Selain itu, tutur Srigito, tumpahan batu bara di wilayah area tangkap nelayan juga menjadi penyebab larinya ikan dari wilayah tersebut. Alasan kedua, adalah aktivitas kapal tongkang pengangkut batu bara di perairan Cilacap. Setiap hari ada lima hingga tujuh kapal tongkang membuang jangkar di perairan Cilacap untuk menunggu proses bongkar muatan di dermaga PTLU. Antrean kapal tongkang tersebut memenuhi area wilayah tangkap nelayan.
Dia menyebutkan, keluhan nelayan terhadap dampak lingkungan yang diakibatkan aktivitas kapal tongkang batu bara itu, bukan hanya berasal dari kelompok nelayan PPSC saja. Tapi juga dari tujuh kelompok nelayan lain di Cilacap.
Dihubungi pers secara terpisah, Wakil Bupati Cilacap, Tatto Suwarto Pamudji, berjanji  bahwa pihaknya akan mempertemukan dengan pihak PLN terkait dengan keluhan nelayan tersebut. "Tetapi yang pasti, pembangunan PLTU Bunton sudah melewati berbagai macam riset dan kajian. Pembangunannya pun telah melalui prosedur Amdal. Kalau soal alur pelayaran, nanti bisa diatur, supaya kapal pengangkut batubara tidak mengganggu aktvitas nelayan," tuturnya.
Semua pihak menyadari, untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional, pemerintah berencana membangun dua PLTU berbahan bakar batu bara di Kabupaten Cilacap. Salah satu PLTU tersebut, kini sudah beroperasi dan berlokasi di Desa Karangkandri, Kecamatan Kesugihan. Sedangkan PLTU Bunton, yang semula direncanakan akan mulai dibangun 2008, rencananya akan mulai dibangun pada 2011. Proses pembebasan tanah untuk lokasi PLTU tersebut, sudah dilaksanakan pemerintah meski memang ada masalah korupsi dalam proses pembebasan tanah tersebut. PLTU Bunton itu sendiri, rencananya akan memiliki kapasitas produksi daya listrik sebesar 2 kali 300 megawatt (MW). Sama dengan kapasitas produksi PLTU Karangkandri. Sedangkan nilai proyek fisiknya, mencapai Rp 1,89 trilyun. (roch/ian/per)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS